MAKALAH SEMIOTIK, IRWANSYAH



MAKALAH
TENTANG
SEMIOTIK
STKIP YAPIS DOMPU.jpg






DISUSUN OLEH:
NAMA            : IRWANSYAH
NIM                : BI.10.01.079
JURUSAN      : BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) YAPIS DOMPU
TAHUN AKADEMIK 2011/2012



BAB I
PENDAHULUAN

A.               Latar Belakang

     Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar Cas atau sas dan –tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk ataupun intruksi.[1][1]

     Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi definisi yang singkat dan sederhana itu didebat dengan pendapat yang mengatakan bawa sastra Indonesia adalah keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini.[2][2]

     Sastra juga dapat dikatakan menghibur dengan cara menyajkan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi seperti novel.

     Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda. Hubungan antar bab, kadang–kadang merupakan hubungan sebab akibat, atau hubungan kronologis biasa saja, bab yang satu merupakan kelanjutan dari bab (-bab) yang lain. Jika membaca satu bab novel saja secara acak, kita tidak akan mendapatkan cerita yang utuh, hanya bagaikan membaca sebuah pragmen saja.[3][3]

     Novel bersifat realistis, sedang romansa putis dan epik. Hal itu menunjukkan bahwa novel dan roman berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.[4][4]


B.            Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian teori Semiotika ?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh teori Semiotika ?
3.      Apa itu Semiotika Strukturalisme ?


















BAB II
PEMBAHASAN

A.            Pengertian Teori Semiotika

           Semiotik (semiotics) berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980). Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda.
Istilah semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika sedangkan di Eropa lebih banyak menggunakan sitilah semiologi. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993: 1). A. Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun.
Bahasa sebagai sistem tanda seringkali mengandung ‘sesuatu’ yang misterius. Sesuatu yang terlihat terkadang tidak sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pengguna bahasalah – manusia – yang mempunyai otoritas untuk melihat dan mencari seperti apa ‘sesuatu’ yang tidak tampak pada bahasa.
Teori semiotik adalah teori kritikan pascamodern, ia memahami karya sastra melalui tanda-tanda atau perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori ini berpendapat bahwa dalam sebuah teks terdapat banyak tanda dan pembaca atau penganalisis harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut. Hubungan antara tanda dengan acuan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Ikon
Ada kemiripan antara acuan dengan tanda. Tanda merupakan gambar/arti langsung dari petanda. Misalnya, foto merupakan gambaran langsung yang difoto. Ikon masih dapat dibedakan atas dua macam, yakni ikon tipologis, kemiripan yang tampak disini adalah kemiripan rasional. Jadi, didalam tanda tampak juga hubungan antara unsur-unsur yang diacu, contohnya susunan kata dalam kalimat, dan ikon metaforis, ikon jenis ini tidak ada kemiripan antara tanda dengan acuannya, yang mirip bukanlah tanda dengan acuan melainkan antar dua acuan dengan tanda yang sama. Kata kancil misalnya, mempunyai acuan ‘binatang kancil’ dan sekaligus ‘kecerdikan’.
2. Indeks
Istilah indeks berati bahwa antara tanda dan acuannya ada kedekatan ekstensial. Penanda merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab akibat). Misalnya, mendung merupakan tanda bahwa hari akan hujan, asap menandakan adanya api. Dalam karya sastra, gambaran suasana muram biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati.
3. Simbol
Simbol yang ada tentunya sudah mendapat persetujuan antara pemakai tanda dengan acuannya. Misalnya, bahasa merupakan simbol yang paling lengkap, terbentuk secara konvensional, hubungan kata dengan artinya dan sebagainya. Ada tiga macam simbol yang dikenal, yakni (1) simbol pribadi, misalnya seseorang menangis bila mendengar sebuah lagu gembira karena lagu itu telah menjadi lambang pribadi ketika orang yang dicintainya meninggal dunia, (2) simbol pemufakatan, misalnya burung Garuda/Pancasila, bintang= keutuhan, padi dan kapas= keadilan sosial, dan (3) simbol universal, misalnya bunga adalah lambang cinta, laut adalah lambang kehidupan yang dinamis..[5][5]

B. Tokoh-tokoh Semiotika
           Dari sebagian banyak literatur tentang semiotik mengungkapkan bahwa semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de Saussure. Tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik, ia juga dikenal sebagai tokoh linguistik modern dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), Charles William Morris (1901-1979), Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1923-1993), Umberto Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901-1981) dalam psikoanalisis.

a.  Teori Semiotik Saussure
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep atau aspek mental dari bahasa. Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi) diistilahkan juga dengan expression dan content, yang satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea.
Menurut Saussure, langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dan oleh karenanya dapat dikomparatifkan dengan tulisan, dengan abjad tuna rungu, ritus simbolis, bentuk sopan santun, dengan tanda-tanda militer, dan lain-lain (Hidayat, 2006: 107-108).[6][6]

b.  Teori Semiotik Peirce

            Menurut Pierce, manusia dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Semiotika merupakan persamaan dari kata logika, dan logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.

            Bagi Pierce, semiotika adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant). Pierce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: 1) semiotik sintaksis yang mempelajari hubungan antar tanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama; 2) semiotik semantik yang mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis; 3) semiotik pragmatik yang mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Pendekatan yang dilakukan oleh Pierce adalah pendekatan triadic, karena mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda tersebut.
C.            Semiotika Strukturalisme
              Analisis stuktural karya sastra dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana kedaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah itu dijelaskan bagaimana hubungan antar unsur sehingga masing-masing itu membentuk totalitas makna yang padu (Nurgiyantoro, 2002:31). Dengan demikian, analisis struktural tidak cukup dilakukan dengan sekedar mendeskripsikan unsur tertentu seperti peristiwa, alur, latar, dan tokoh. Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain.[7][8]

Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa. Alisme Strauss dengan Mith dalam teori kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammer of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Strukturalisme dan semiotik dinamakan oleh Ferdinand de Saussure dengan semiologi (Hoed, 2002: 1).[8][9]
Strukturalisme adalah satu aliran filsafat yang muncul di Prancis. Istilah “strukturalisme” sering membingunkan berbagai kalangan. Hal ini disebabkan istilah “struktur” sendiri bnayak digunakan dalam berbagai bidang tau disiplin begitu juga dengan istilah strukturalisme. Istilah strukturalisme tidak hanya digunakan dalam bidang kesusastraan, tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain, seperti biologi, psikologi, sejarah, filsafat, bahasa linguistic , dan disiplin ilmu-ilmu yang lainnya.[9][10]
Pengertian lain strukturalisme adalah suatu cara berfikir yang memandang seluruh realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan, atau dengan kata lain, strukturalisme adalah salah satu cara pandang yang menekankan pada persepsi dan deskripsi tentang struktur yang mencakup keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri (Hidayat, 2006: 101-102).
Fokus utama strukturalis adalah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, mungkin struktur itu adalah psyche (psikis), bagi Marx, struktur itu adalah economy, dan bagi Saussure, struktur itu adalah language (bahasa).
Strukturalisme berkembang sejak Levy Strauss mengungkapkan bahwa hubungan antara bahasa dan mitos menjadi posisi sentral. Pemikiran primitif menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya sebanyak struktur bahasanya. Menurutnya, mitos memiliki hubungan dengan bahasa karena merupakan suatu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Sebuah mitos, secara individual melahirkan parole yang memberikan kontribusi terhadap struktur.
 Sedikitnya, ada lima pandangan Saussure yang kemudian menjadi peletak dasar strukturalisme, yaitu:
1.) signifier (penanda) dan signified (petanda);
2.) form (bentuk) dan content (isi);
3.) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran);
4.) synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); serta
5.) syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik) (Sobur, 2004: 46).
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep atau aspek mental dari bahasa. Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi) diistilahkan juga dengan expression dan content, yang satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea.[10][11]
Langange adalah suatu kemampuan bahasa yang ada pada setiap manusia yang bersifat pembawaan. Ia merujuk pada suatu fenomena bahasa secara umum, artinya langange memiliki segi individual dan segi sosial sehingga lahirlah dari langange itu dua aspek, yaitu langue dan parole. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Aminuddin (2003: 40) mengatakan bahwa langange merupakan wujud dari pengelompokan parole yang nantinya akan menimbulkan dialek maupun register.
Langue adalah totalitas dari kumpulan fakta suatu bahasa yang ada pada setiap orang. Langue adalah sesuatu yang berkadar individual tapi juga sosial universal. Menurut Saussure, langue ini ada dalam benak orang, bukan hanya absraksi-abstraksi. Suatu masyarakat bahasa secara konvensional dan manasuka menyetujui satu totalitas aturan dalam berbahasa dan mereka mengerti dengan totalitas ini. Karena sifatnya pembawaan setiap manusia, maka langue itu abstrak dan tertentu pada suatu bahasa. Sebagai contoh, semua orang Indonesia memiliki langue bahasa Indonesia, tetapi jika orang Indonesia mempelajari bahasa Inggris maka langue mereka pun akan bertambah, yaitu langue bahasa Inggris (Alwasilah, 1993: 78)
Parole adalah wujud bahasa yang digunakan anggota masyarakat bahasa itu dalam pemakaian (Aminuddin, 2003: 40). Selain itu parole adalah ujaran atau ucapan seseorang, yaitu apa yang diucapkan dan apa yang didengar oleh pihak penanggap ujaran.
Yang dimaksud dengan sinkronik adalah deskripsi tentang ‘keadaan tertentu bahasa tersebut pada suatu masa’. Sinkronik mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu, sinkronik bersifat horizontal. Misalnya menyelidiki pengguna bahasa Arab pada zaman Jahiliyah.
Sedangkan yang dimaksud dengan diakronis adalah ‘menelusuri waktu’ (Bertens, 2001: 184). Diakronis adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah bahasa. Contohnya studi diakronis bahasa Arab mungkin mengalami perkembangan di masa catatan awal sampai sekarang ini. Atau diakronis adalah disiplin linguistik yang mempelajari bahas dari masa ke masa. Studi ini bersifat vertikal.[11][12]























BAB III
PENUTUP

A.           Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulakan bahwa semiotik merupakan  ilmu atau metode analisis untuk mengkaji sebuah tanda yang memiliki makna. Tanda-tanda tersebut dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan yang dapat dilengkapi kehidupan ini, walaupun dikatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Ilmu semiotik dalam karya sastra berupa novel biasanya menggunakan simbol. Semiotik menjadi satu istilah untuk kajian sastra yang berisi lambang-lambang atau kode-kode yang mempunyai arti atau makna tertentu. Arti atau makna itu berkaitan dengan sistem yang dianut.
                  Semiotik digunakan untuk memeberikan makna kepada tanda-tanda sesudah penelitian struktural. Sedangkan, strukturalisme adalah suatu cara berfikir yang memandang seluruh realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan, atau dengan kata lain.
B.  Saran

             Saran untuk mahasiswa, agar dapat melakukan pengkajian terhadap novel dengan menggunakan kajian Semiotika dan Strukturalisme. Semoga dengan adanya pembahasan diatas dapat membantu pengkajian tersebut.








DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Kris. Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik. Magelang: Indonesia Tera. 2004.

Junus, Umar. Pengantar Strukturalisme. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1988.

K.S, Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2007.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005.

Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Caps. 2012.















Comments

Popular posts from this blog

RESENSI BUKU BAHASA INDONESIA